"Hari gini nikah? Nggak salah tuh?" Izzah berkata begitu seraya meleletkan lidahnya padaku.
"Lho, memang sudah waktunya kan? Apa lagi yang kamu tunggu? Kuliah sudah beres, tinggal nunggu wisuda. Amanah nggak di kampus lagi. Umur juga lumayan memenuhi. Nggak ada penghalang lagi kan? So, ngapain nunda-nunda? " kataku padanya.
"Kakak sendiri gimana? Udah hampir kepala tiga kok masih melajang aja? Kasihan tuh akhwat-akhwat senior yang nunggu dikhitbah ikhwan." protes Izzah.
Aku mengacak kepalanya karena gemas. "Iih, kamu ini. Diajak ngomong baik-baik malah mental terus. Kalo aku lain lagi masalahnya, bukan masalah nggak mau. Sudah ikhtiar berkali-kali tapi Allah belum memudahkan jalannya. Tahu kan?" jawabku dengan mata melotot.
"Ikhtiarnya kurang serius kali. Nyatanya kakak masih kelihatan nyantai-nyantai aja gitu. Kalo kakak aja belum nikah, ngapain juga Izzah buru-buru."
"Kamu akhwat, Zah. Nggak baik kalo ketuaan nikahnya. Masa-masa suburnya seorang akhwat kan di bawah tiga puluh tahun. Apa kamu nggak khawatir? Lagian sudah banyak ikhwan yang ngincer kamu. Nggak baik kalo kamu menghindar terus." Aku berusaha menghela kesabaranku.
"Ngincer aku? Emang mereka nggak ada kerjaan lain ya selain nglirik-nglirik akhwat? Pantesan sekarang banyak ikhwan yang lelet banget kerjanya kalo dikasih amanah. Kerja dakwah aja nggak beres-beres eh mereka malah sempet-sempetnya ngurusin kenapa akhwat pake baju pink, kenapa akhwat jilbabnya warna-warni, kenapa foto akhwat nampang di presentasi, akhwat kok ketawanya ngakak gitu... bla... bla... bla... Nggak penting banget seeeh."
"Izzah..." Aku berteriak kencang dan ingin menutup mulutnya yang terus nyerocos tak karuan itu. Tapi Izzah terlanjur berlari keluar rumah setelah sebelumnya mengecup pipi kanan kiriku.
"Daah Kakak. Izzah keburu ada rapat nih. Assalamu'alaikum. .." katanya seraya melemparkan senyum manjanya.
Huah, ini tak bisa dibiarkan. Bisa berabe kalau Izzah masih seperti itu terus kondisinya. Masak sudah hampir dua puluh lima tahun umurnya tapi tak secuil pun kulihat aktivitasnya ada yang mengarah ke penggenapan setengah diennya. Aku sebagai kakaknya tentu saja khawatir dibuatnya. Belakangan ini sudah ada tiga ikhwan yang mendatangiku berturut-turut dan mengatakan ingin bertaaruf dengan adikku itu.
"Saya suka dengan Ukhti Izzah. Bagi saya dia adalah akhwat haraki dengan militansi tinggi yang tak perlu diragukan lagi komitmen keislamannya. Sepak terjangnya selama mengemban amanah di kampus sudah cukup menjadi bukti bagi itu semua. Alangkah berbahagianya kalau ia bisa menjadi pendamping hidup saya." Akhi Ridwan, mantan petingginya waktu di BEM dulu mengungkapkan isi hatinya padaku. Ikhwan ini terbilang cukup baik dan populer di kalangan aktivis dakwah. Aku tidak akan keberatan kalau ia jadi suami bagi Izzah.
"Izzah adalah seorang akhwat dengan kedisiplinan, manajemen emosi, dan intelektualitas yang luar biasa. Saya ingin berkenalan dengan dia lebih jauh, bolehkah?" kalau yang ini datang dari Fauzi, kakak seniornya yang sekarang sudah kerja di Telkomsel.
"Saya tak pernah mengenalnya secara personal. Melihat wajahnya saja belum pernah. Namun saat membaca tulisannya yang berapi-api di media kampus yang cukup melukiskan ghirah dakwahnya yang luar biasa hingga hati saya tergerak untuk meminangnya. Sepertinya saya akan mudah bisa bersinergi dengannya... " Ini yang paling berat. Nggak tanggung-tanggung, keinginan ini datang dari Haris, sobat dekatku yang sudah kukenal luar dalam dan sudah teruji ketangguhannya sebagai seorang kader pilihan hingga anganku pun sempat melayang tak karuan. Membayangkan ia dan Izzah duduk bersanding di pelaminan. Duhai, betapa leganya hatiku sebagai seorang kakak jika bisa menyerahkan Izzah pada orang terpercaya seperti dia.
* * * *
"Izzah..." panggilku halus saat kami sedang makan berdua di rumah sore itu.
"Apa?" jawabnya ketus tanpa melihat padaku. Sementara tangannya tak berhenti menyendokkan makanan ke mulutnya.
"Masalah ikhwan yang ingin kuajukan padamu kemarin itu..." aku belum selesai dengan ucapanku saat tiba-tiba Izzah menghentikan makannya dan menatap garang padaku.
"Berhenti ngomongin itu atau Izzah boikot kakak sekarang juga." ancamnya dengan raut muka yang terlihat sangat marah. Aku kaget dengan perubahannya yang tiba-tiba itu.
"Zah, dengerin aku dulu..."
"Nggak, aku nggak mau denger topik itu. Bikin bete aja tahu nggak?"
"Tapi ini penting, Zah. Kita perlu ngomongin serius masalah ini."
"Nggak, nggak, nggak..."
"Izzah, tolong dewasalah." pintaku dengan nada memelas dan berusaha meraih tangannya untuk menenangkannya.
"Ayaaaaaaah. .." eh, ia malah bangkit berdiri dan berteriak-teriak memanggil ayah. Kacau nih. Ayah yang saat itu sedang bersantai-santai di belakang rumah datang tergopoh-gopoh ke arah kami. Izzah tersenyum penuh kemenangan.
"Ada apa sih kalian sore-sore gini ribut kayak anak kecil aja. Malu didenger tetangga tahu nggak?" tanya beliau dengan suara lantang dan kedua tangan yang bergayut di pinggang seperti orang menantang.
"Nggak tahu nih, Yah. Kakak tuh suka gangguin Izzah aja, ngajakin ngomong aneh-aneh yang Izzah nggak mau denger. Padahal aku kan lagi makan." Izzah berhasil ngomong duluan dan berlindung di belakang ayah dengan memasang muka memelasnya.
"Enggak kok, Yah. Irfan cuma pengen ngomong sesuatu yang penting aja. Tapi Izzahnya nggak perhatian. Belum selesai ngomong dia malah teriak-teriak manggil Ayah. Kekanak-kanakan banget kan?" balasku berusaha membela diri.
"Mending kekanak-kanakan daripada kakak yang kekakek-kakekan. Bagusan mana coba?" ledeknya.
"Eh, malah balik menghina. Dasar bayi baru gede. Nggak bisa diajak ngomong baik-baik." Aku tersinggung mendengar kata-kata Izzah dan ganti meledeknya.
'Biarin."
"Sudah, sudah. Stop berantemnya. Pusing ayah mendengarnya. Nggak peduli siapa yang salah siapa yang benar pokoknya stop! Sudah hampir maghrib tuh. Kalo sampai adzan nanti masih kudengar kalian kayak gini kuhukum kalian berdiri sampai besok pagi. Mengerti!" Huh, gawat kalau watak tentaranya ayah sudah kumat begini. Tak ada toleransi lagi. Jadinya aku terpaksa mengalah dan kembali duduk tanpa bicara. Kukunyah kembali makananku tanpa ingin memperpanjang lagi pertengkaran itu. Sementara Izzah mengambil piringnya dan makan lagi dengan memasang tampang cuek. Sidang ditutup.
Tapi aku tidak ingin menyerah sampai di situ saja. Hari-hari berikutnya aku masih terus merancang strategi bagaimana caranya supaya Izzah bisa tertarik untuk kuajak bicara masalah ini. Aku ingin tahu kenapa ia sepertinya anti dengan topik mulia ini. Adakah sesuatu yang mengganjal hatinya dan aku tidak mengetahuinya? Soalnya sebagai sesama saudara selama ini kami terbilang cukup dekat, sering curhat-curhatan masalah dakwah atau pribadi, dan pergi ke mana-mana bareng. Jadi aku cukup tahu apa saja aktivitasnya dan ia juga tahu apa saja aktivitasku. Jarang ada sesuatu yang tersembunyi di antara kami. Masalah ikhtiarku untuk menikah yang gagal terus karena terhalang oleh beberapa kendala pun ia tahu juga walaupun untuk masalah yang satu ini ia lumayan kurang care. Apa dia phobia menikah ya... jangan-jangan begitu. Ya, aku ingat dia sering curhat masalah apa pun tapi jarang sekali dia menyentuh topik tentang cinta ikhwan akhwat atau pernikahan. Ada yang aneh di sini. Aku harus cari tahu, tekadku.
Maka karena terdorong oleh rasa penasaran itu sekaligus karena memang aku ingin berusaha mendekatkan Izzah pada upaya penggenapan setengah diennya aku pun jadi sering memperhatikannya lebih dari biasanya. Kuselidiki lebih detail aktivitasnya dalam seminggu apa saja. Tak kurang-kurang aku mengawasinya dengan semangat mengantarnya ke mana saja, meneleponnya tiap satu jam sekali supaya tahu ia sedang apa, mengubek-ubek isi tasnya, mempelajari mimik mukanya, meneliti buku-buku di kamarnya tanpa sepengetahuannya, mencari tahu isi lemari dan kolong tidurnya... Nihil. Tak ada sesuatu yang mencurigakan. Ia masih Izzahku yang heroik dan penuh semangat, yang atmosfer kehidupannya disibukkan oleh aktivitas dakwahnya. Mabit, demo, rapat, lembur bikin proposal, ngisi kajian, ngurusi mentoring, lokakarya, up grading, baksos... begitulah.
"Kakak kenapa? Kok kayaknya sekarang perhatian banget sama Izzah?" tanyanya dengan muka menyelidik saat kami sedang menyantap es krim berdua di restoran simpang lima.
"Nggak pa-pa. Mumpung masih sendiri. Kali bulan depan aku sudah menikah sehingga nggak punya waktu buat manjain kamu lagi," pancingku. Sayangnya usahaku ternyata sia-sia. Dia tak tergoda untuk balik menggugat.
"Tabungan kakak sudah berapa?" ia membuka tasnya.
"Hah?" aku bengong, "maksudnya?"
"Aku tanya tabungan kakak sekarang sudah berapa? Sudah lama kan kakak bekerja. Minggu depan departemenku ngadain seminar nasional. Mau nggak nyumbang? Kita kekurangan dana nih." Ia membuka proposal dan menunjukkan bagian anggaran dana pengeluaran padaku.
Aha! Aku dapat ide.
"Boleh, tapi ada syaratnya."
"Benarkah?" kedua matanya berbinar-binar ceria. Ia memelukku dengan gembira. "Apa?"
"Ceritakan padaku kenapa sepertinya kamu anti kalo kuajak ngomong tentang pernikahan?" Aku membetulkan letak dudukku, bersiap mendengarkan penuturannya. Tapi ia malah memasukkan kembali proposal itu ke dalam tasnya dan pura-pura seperti tak terjadi apa-apa.
"Nggak jadi. Aku cari donatur lain aja." ucapnya datar sembari mengarahkan pandangannya ke arah lain.
"Ye, gitu aja marah. Iya ya, aku nyumbang. Berapa? Lima ratus ribu aja ya."
"Transfer ke rekeningku secepatnya." katanya tanpa mengucapkan terima kasih. Begitulah Izzahku yang ceria akan berubah jadi dingin sikapnya kalau sudah mulai kusinggung-singgung masalah yang tadi. Bikin aku patah hati. Ditambah lagi aku juga harus terus-terusan merayunya karena ia kalau sudah mutung bisa sangat lama. Uh, capek deh...
Aku hampir menyerah pada usahaku dan tak mau ambil pusing lagi dengan urusan ini. Biarlah semuanya berjalan apa adanya, pikirku. Toh, kalau memang Izzah belum mau, ngapain juga dipaksa-paksa. Ntar malah nggak berkah hasilnya, ya nggak?
Tapi sebait tulisan Izzah yang tertangkap oleh mataku larut malam itu membuat rasa penasaranku datang lagi. Aku menemukannya secara tak sengaja saat hendak mematikan komputer Izzah yang masih menyala dan ditinggal tidur olehnya. Kubaca berulang-ulang tulisan yang lebih mirip puisi itu dengan dahi mengernyit. Sebait puisi di sepotong kertas yang digenggam sampai tidur oleh penulisnya, tidakkah itu menandakan sesuatu yang amat berarti baginya?
Kutemukan dia sebagai wanita biasa
Wanita biasa yang menjadikan islam sebagai mahar pernikahannya
Kutemukan dia sebagai wanita hartawan berjiwa mulia
Wanita mulia yang setia mendampingi lelaki utama dalam kesederhanaannya
Maka tertatih-tatih aku pun mengejar ketinggian cita-citanya
Meski sayap-sayap ini mulai patah saat sadar bahwa itu jauh dari realita
Rabbi, berilah aku kesempatan untuk menjadi seperti mereka
Sekali saja...
Biarkan jihad jadi kekasihku supaya kelak aku bisa jadi kekasih-Mu..
Aku membaca puisi itu dengan penuh tanda tanya. Apa yang terjadi? Pikirku.
Allah... Allah...
Aku berpaling pada Izzah yang kini mengigau menyebut nama-Nya. Kucoba meraba keningnya. Hangat.
Allah... Allah...
Izzah terus mengigau. Dua bulir bening mengalir dari matanya. Adikku menangis dalam tidurnya! Aku betul-betul tak mengerti.
"Izzah..." panggilku halus seraya mencoba membangunkannya. Tapi ia tetap tak bergeming. Sementara bibirnya tak henti mengigau.
Aku sedikit panik. Segera aku berlari ke kamar ayah dan menggedor pintunya keras-keras.
"Ayaaah, Izzah sakit. Kita harus memanggil dokter."
* * * *
"Kakak tidak tahu? " Fika mengernyitkan keningnya dan menatapku heran
"Aku betul-betul tidak tahu apa-apa. Karena itulah aku bertanya padamu, barangkali kamu lebih tahu masalah ini daripada aku." jawabku tanpa menutup-nutupi kegalauan hatiku. Sore itu aku sengaja menemuinya di lapangan basket tempat ia latihan. Fika adalah sahabat dekat Izzah sejak SMA. Meski mereka berbeda karakter dan kesibukan tetapi itu tidak menghalangi kuatnya ikatan hati di antara mereka. Gadis ini memang lumayan punya tampang cuek dan tomboy abis tapi entah kenapa Izzah enjoy menjadikan dia sebagai sahabat dekatnya. Bahkan saking deketnya Fika sudah sangat mengenal bahasa-bahasa dakwah yang biasanya hanya digunakan di kalangan ikhwah.
Fika menghela nafas berat seraya menundukkan kepalanya ke tanah.
"Ada apa, Fik? Tolong ceritakan apa yang sesungguhnya terjadi pada adikku." desakku. Firman yang kuajak untuk menemaniku tampak asyik membaca buku di atas motorku di parkiran. Aku memang menyuruhnya agak jauhan agar Fika leluasa berbicara.
"Fika takut Izzah akan marah." katanya ragu.
"Aku kakaknya. Tidak berhakkah aku mengetahuinya demi membantunya keluar dari masalahnya?"
Gadis itu memalingkan pandangannya ke arah lain. Aku harus menunggunya lama sampai dia mau bicara.
"Kira-kira lima bulan yang lalu Izzah menjalani taaruf dengan seorang teman kampusnya... "
"What?" aku tersentak kaget, "ikhwan bukan? Kok tidak terdengar kabarnya?"
Fika memelototkan matanya, "ya ikhwanlah, masak akhwat?" protesnya. Aku buru-buru menenangkannya.
"Maaf, maksudku lelaki biasa atau yang sudah ngaji?"
"ikhwan aja keder kalo ngadepin Izzah, apalagi lelaki biasa. Jadi terjemahkan sendiri."
Aku menggaruk-garukkan kepalaku. "Iya, aku tahu kalo Izzah terkenal galaknya. Dia kan nggak mau deket-deket sama lawan jenis kecuali kalo ada perlunya. Jadi kalo sampai ada yang berani naksir dan taaruf langsung pasti tuh ikhwan gede banget nyalinya ya."
"Dia tidak naksir tapi Izzah yang menawarkan diri padanya."
Gedubrak. Aku hampir terjungkal ke belakang mendengar pernyatan dari Fika itu.
"Menawarkan diri? Emangnya dia akhwat yang nggak laku? Banyak kok yang naksir padanya dan minta aku mak comblangin dia. Izzah kan..."
Fika buru-buru menyetopku. "Emangnya kalo akhwat menawarkan diri itu karena dia nggak laku? Dan emangnya kalo banyak yang naksir itu sudah pasti Izzah bisa sreg dengan salah satunya? Suka-suka Izzah dong mau cari pendamping hidup lewat cara apa. Asal halal Lha wong dia yang mau nikah." semprotnya.
Aku berusaha mengatur emosiku. "Eh, ya ya aku tahu. Tapi ceritain gimana kok bisa-bisanya Izzah menawarkan diri pada ikhwan itu... Pasti dia punya banyak kelebihan ya."
"Irfan..." Fika menyebut satu nama.
"Irfan?" aku mencoba-coba mengingat sosok pemilik nama itu, "lho, dia kan yang mengalami kecelakaan motor dan kakinya terpaksa diamputasi itu? Ya Allah..." aku menepuk dahiku, semakin bingung saja aku saat mendengar semua ini.
"Ya, Irfan. Seorang ikhwan yang bahkan mungkin di kalangan kalian para aktivis saja tidak banyak yang mengenalnya. Yah, dia memang hanya ikhwan biasa yang tidak punya posisi utama di lembaga dakwah manapun, sepak terjang yang terlihat biasa-biasa saja, dan punya tampilan biasa-biasa saja atau nggak ikhwan banget lah, setidak-tidaknya itu menurut pandangan kalian. Keluarganya juga biasa, bahkan boleh dibilang miskin. Adik-adiknya banyak, rumahnya di pinggiran rel kereta. Ayahnya pergi meninggalkan mereka sepuluh tahun yang lalu. Jadi selama sepuluh tahun ini Irfan dan ibunya berjuang menghidupi adik-adiknya. Siang ia kuliah, sore mengajar bimbel, malam menarik becak, dan pagi jualan koran."
"Dan Izzah ingin menikah dengan Irfan supaya dia bisa membantunya mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi ibu dan adik-adiknya? " tebakku. Semenjak Izzah masih kecil aku sudah tahu kalau adik semata wayangku itu cukup berjiwa sosial.
"Tepat. Izzah memandang bahwa keluarga kalian cukup punya harta untuk dibagi-bagi dengan sesama. Dia punya ayah seorang jendral, ibu pengusaha, kakak kontraktor, dan dia sendiri hampir lulus dengan predikat cum laude hingga tak perlu risau untuk dapat kerja karena sudah banyak perusahaan yang menawarinya. Sempurna bukan?" ujar Fika dengan pandangan menerawang. Raut mukanya terlihat sedih. Aku sendiri tercenung dengan penuturannya. Izzahku, betapa mulia hatimu. Membuatku sejak dulu harus berkali-kali menutupi mukaku karena malu kalah cepat denganmu dalam berbuat kebaikan.
"Bagaimana dengan Irfan? Apakah... dia menerima Izzah?" tanyaku terbata-bata. Aku bisa membayangkan hancurnya hati Izzah kalau tawaran baiknya ditolak.
"Butuh perjuangan keras untuk meyakinkan Irfan bahwa Izzah siap menjadi istri dari lelaki sederhana seperti dia, bahwa Izzah meskipun berasal dari keluarga kaya raya tapi bukan layaknya putri yang suka dimanja dan diistimewakan, bahwa Izzah meskipun di lembaga dakwah terlihat amat diprioritaskan dan Irfan tidak terperhatikan itu tidak bisa menjadi ukuran bahwa ia lebih baik dari ikhwan biasa seperti dia. Ketegaran Irfan dalam menghidupi adik-adiknya sudah cukup membuktikan bahwa ikhwan itu lebih banyak memiliki keutamaan dibandingkan dia, begitu menurutnya." sampai di sini mata Fika berkaca-kaca dan kedua tangannya gemetar.
"Begitu berliku-liku proses taaruf itu. Hingga akhirnya ketika keduanya sudah sama-sama mantap dan Irfan siap untuk melamar Izzah... " kalimatnya terhenti. Ia menangis terisak-isak.
Aku menelan ludahku yang terasa pahit.
"Dan Irfan mengalami kecelakaan sehingga hubungan mereka tak bisa berlanjut sampai ke pelaminan, begitukah?" tanyaku dengan suara bergetar.
Fika menganggukkan kepalanya.
"Saat kecelakaan itu terjadi hati mereka sama-sama hancur. Tetapi Izzah tidak melihatnya sebagai penghalang, ia lebih menganggap itu sebagai ujian keikhlasannya sehingga dia bersikeras untuk tetap menikah dengan Irfan. Ketidaksempurnaan fisik Irfan bukan masalah berarti baginya sebab sejak awal memang dia sudah meniatkan pernikahannya sebagai ladang jihadnya. Sayangnya Irfan yang tak tega untuk menerimanya kembali, ia tak ingin semakin memberatkan Izzah dengan kondisinya yang sudah tak sempurna itu. Sudah miskin, cacat pula. Berkali-kali Izzah memohon-mohon padanya tapi tetap saja sia-sia. Begitu banyak rintangan yang telah mereka lewati, tetapi ternyata perjuangan mereka untuk bersatu dalam mahligai rumah tangga akhirnya kandas juga..."
Aku menahan air mataku yang mendesak keluar, hatiku perih membayangkan Irfan dan Izzah yang harus mengalami tragedi memilukan ini. Sementara Fika semakin larut dalam tangisnya sehingga aku tak ingin lagi bertanya. Kesedihan telah merasuki hati kami dan membuat kami jadi sama-sama berdiam diri.
Aku baru mau bangkit dari dudukku dan berniat mengakhiri pembicaraan kami sore itu saat Fika berkata lagi padaku dengan raut muka pilu.
"Kak, jika suatu hari nanti Izzah sudah sembuh dari lukanya dan siap membuka hatinya untuk ikhwan lain tolong Kakak menjaganya agar jangan sampai terluka untuk yang kedua kalinya. Carikan ia seorang ikhwan biasa yang bisa mewujudkan misi pernikahannya yang tertunda. Izzah lelah dengan kesempurnaan. Selama ini ia begitu lekat dengan predikat tajir, cerdas, militan, rupawan... Maka jangan sandingkan ia dengan ikhwan-ikhwan yang memiliki predikat serupa. Ia benci dengan ikhwan-ikhwan yang ingin menikahinya karena tergiur oleh predikat-predikatny a itu sebab baginya menikah bukanlah untuk unjuk prestasi. Sebab ia merasa bahwa ia tidak akan teruji keimanannya jika tidak bisa melenyapkan parameter-parameter itu dalam memilih pendamping hidupnya. Sebab ia ingin merdeka dari pesona-pesona yang sekejab mata. Sebab..." Fika tak sanggup lagi meneruskan bicaranya.
"Sebab ia ingin menjadikan jihad sebagai kekasihnya.. ." aku melanjutkannya dengan air mata yang tak bisa lagi kusembunyikan.
* * * *
Shubuh baru saja berlalu tapi aku sudah berganti pakaian olah ragaku dan bergegas mengetuk pintu kamar Izzah.
"Zah, lari pagi yuk." ajakku seraya duduk di pinggir tempat tidurnya. Izzah yang saat itu lagi tilawan mendongakkan kepalanya padaku.
"Nggak, ah. Aku mo ngerjain lpj." katanya malas-malasan.
"Lpj bisa dikerjain lain waktu."
"Enggak mau. Selain lpj ada banyak tugas lain yang harus kukerjain. Tuh lihat." matanya mengarah ke deretan tulisan tentang agenda hari ini yang sudah ia list malam tadi.
"Udah, paling lari cuma setengah jam aja kok. Sekali-kali olah raga dong biar sehat. Nggak kapok ya kemarin habis sakit gitu. Ntar kubantuin deh. Kan ini hari minggu, jadi aku nganggur." rayuku lagi.
"Gimana ya?" ia masih tampak pikir-pikir.
"Iih, susah banget sih. Ayolah, fisik juga ada haknya lho. Kalo mau jihad kan harus kuat luar dalem biar nggak gampang KO. Jalan dakwah kan berat... Ayo, srikandi langitku!" desakku seraya menjawil kedua pipinya yang membuat ia tertegun dengan kata-kataku barusan.
"Srikandi langit..." katanya dengan menggigit bibirnya. Aduh, aku salah ngomong ya, pikirku. Kugeser dudukku supaya bisa lebih dekat dengannya.
"Izzah, aku sudah tahu semuanya. Fika menceritakannya padaku seminggu yang lalu. Maafkan aku jika memaksa dia membuka rahasia yang kau percayakan padanya. Tapi aku perlu tahu demi kebaikanmu dan demi rasa sayangku padamu."
Ia kelihatan kaget. Kedua matanya berkaca-kaca. Aku mengusapnya dengan lembut.
"Izzah, kau gadis yang kuat dan tabah. Kadang-kadang aku bertanya terbuat dari apakah hatimu hingga pintar sekali menyembunyikan luka itu. Tapi, kumohon berbagilah denganku. Mungkin aku tidak bisa menghiburmu atau membantumu keluar dari kemelut itu. Tapi setidaknya aku tahu apa yang sedang merisaukan hatimu sehingga aku tidak salah mengambil langkah. Aku takut aku melakukan sesuatu yang kukira baik bagimu tapi ternyata malah semakin menyakitimu. "
Izzah menghambur ke pelukanku dengan menangis tersedu-sedu.
"Aku tawarkan diriku padanya karena aku melihat surga terbentang di sana, di kehidupannya yang susah dan jauh dari kemewahan. Kuberanikan diriku dan kukuatkan azzamku karena aku berharap bisa seperti Bunda Khadijah yang merelakan hartanya di jalan-Nya atau seperti Ummu Sulaim yang memenangkan cinta di atas cinta. Tapi sepertinya aku hanyalah hamba yang hina hingga Allah pun tak mengabulkan cita-citaku menjadi srikandi langit seperti mereka. Jadi beginilah Izzah yang sebenarnya, Izzah yang dikenal tajir, cerdas, kaya ternyata tak punya nilai di hadapan-Nya hingga tak cukup layak mendampingi lelaki zuhud seperti dia."
Hatiku trenyuh.
"Kenapa? Apakah telah begitu menggunungnya dosa-dosaku hingga aku semakin sulit mendapatkan kesempatan untuk menggapai surga? Apalah artinya predikat-predikat mulia di hadapan manusia jika ternyata aku tak bisa menggunakannya sebagai sarana untuk meraih keridhoan-Nya. .."
"Ssstt, Izzah jangan ngomong seperti itu. Justru ujian ini sebenarnya adalah sebagai wujud kasih sayang Allah padamu. Dia ingin membuatmu lebih kuat menggenggam keistiqomahan niat dan tujuan di tengah kondisimu yang memang rentan dengan godaan kesombongan. Sekali-kali terjatuh itu tak apa. Ayo bersemangatlah! Pagi ini olah raga. Habis itu kita bersiap-siap untuk menyambut Irfan. Siang ini ia mau datang ke sini buat meminangmu."
"What?" Izzah melepaskan pelukannya dan memandangku dengan mata melotot. Aku tersenyum seraya menganggukkan kepalaku.
"Ya, aku sudah menemui Irfan dan meyakinkannya kembali akan cita-cita pernikahan kalian yang tertunda. Emang sih butuh perjuangan berat buat meruntuhkan kekerasan hatinya. Nggak tanggung-tanggung, aku harus bolak-balik silautahim ke rumahnya dan bermanis-manis muka di hadapan ibunya, mentraktir adik-adiknya makan ayam goreng di Arto Moro, nemenin mereka menggembala kambing dan berkotor-kotor ria di sawah, trus menceramahi Irfan panjang lebar dan merengek-rengek kayak anak kecil padanya, eh nggak ding... Wuah, capek deh. Pokoknya sudah kukeluarkan semua jurus-jurus ampuhku buat meluluhkan hatinya. Nggak kalah kalau mau dibandingin dengan perjuangan mereka-mereka yang di Katakan Cinta. Yah, semoga saja caraku ini nggak terkesan norak-norak amat. Lha wong mau bantuin adiknya biar cepet nikah kok. Jadi pasti dihitung pahala oleh Allah ya..." aku berkata dengan suara mantap dan penuh kepuasan. Sementara Izzah gemetar mendengar pengakuanku.
"Kakak..." panggilnya dengan nada bergetar. Aku kembali memeluknya erat-erat.
"Iya, jangan bersedih lagi. Akhirnya jadi juga kan kamu menikah dengannya. Udah, cup... cup... adekku sayang."
"Terima kasih..." ucapnya lirih namun cukup membuat hatiku berbahagia saat mendengarnya.
"Iya, tapi sebagai imbalannya jangan lupa gantian cariin aku belahan jiwaku yang belum ketemu-ketemu ya. Sudah kebelet nikah juga nih. Ayo yang semangat jadi mak comblangku. Ciee, adekku lebih duluan dari aku nih. Nggak relaaaa..." aku menggodanya lagi. Izzah memukul bahuku manja. Aku terkekeh-kekeh gembira.
ceritanya menyentuh bgt.penuh inspirasi...juga motivasi.
BalasHapussedikit menohok juga,
krn nama saya mengandung "izzah", tp sy blum mampu melakukan sesuatu yg mencerminkan nama itu.
sy lebih bnyak "irfan"nya dari pada "izzah"nya...