seorang kawan, dalam doa dan salamnya
di berlalunya seperempat abad usiaku
kembali mengenangkanku sebuah kaidah
“bencilah kesalahannya,
tapi jangan kau benci orangnya.”
di berlalunya seperempat abad usiaku
kembali mengenangkanku sebuah kaidah
“bencilah kesalahannya,
tapi jangan kau benci orangnya.”
betulkah aku sudah mampu begitu
pada saudaraku, pada keluargaku
pada para kekasih yang kucinta?
saat mereka terkhilaf dan disergap malu
betulkah kemaafanku telah tertakdir
mengiringi takdir kesalahan mereka?
pada saudaraku, pada keluargaku
pada para kekasih yang kucinta?
saat mereka terkhilaf dan disergap malu
betulkah kemaafanku telah tertakdir
mengiringi takdir kesalahan mereka?
tapi itulah yang sedang kuperjuangkan
dalam tiap ukhuwah dan cinta
dalam tiap ikatan yang Allah jadi saksinya
karena aku tahu, bahwa terhadap satu orang
aku selalu mampu membenci luputnya
tapi tetap cinta dan sayang pada pelakunya
itulah sikapku selalu, pada diriku sendiri
dalam tiap ukhuwah dan cinta
dalam tiap ikatan yang Allah jadi saksinya
karena aku tahu, bahwa terhadap satu orang
aku selalu mampu membenci luputnya
tapi tetap cinta dan sayang pada pelakunya
itulah sikapku selalu, pada diriku sendiri
kucoba cerap lagi kekata asy syafi’i
“aku mencintai orang-orang shalih”
begitu katanya, diiringi titik air mata
“meski aku bukanlah bagian dari mereka
dan aku membenci para pemaksiatNya
meski aku tak berbeda dengan mereka.”
“aku mencintai orang-orang shalih”
begitu katanya, diiringi titik air mata
“meski aku bukanlah bagian dari mereka
dan aku membenci para pemaksiatNya
meski aku tak berbeda dengan mereka.”
ya.. mungkin dia benar
tapi dalam tiap ukhuwwah dan cinta
dalam tiap ikatan yang Allah jadi saksinya
aku ingin meloncat ke hakikat yang lebih tinggi
tapi dalam tiap ukhuwwah dan cinta
dalam tiap ikatan yang Allah jadi saksinya
aku ingin meloncat ke hakikat yang lebih tinggi
karena tiap orang beriman tetaplah rembulan
memiliki sisi kelam,
yang tak pernah ingin ditampakkannya pada siapapun
maka cukuplah bagiku
memandang sang bulan
pada sisi cantik yang menghadap ke bumi
memiliki sisi kelam,
yang tak pernah ingin ditampakkannya pada siapapun
maka cukuplah bagiku
memandang sang bulan
pada sisi cantik yang menghadap ke bumi
tentu, tanpa kehilangan semangat
untuk selalu berbagi dan sesekali merasai
gelapnya sesal dan hangatnya nasehat
sebagaimana sang rembulan
yang kadang harus menggerhanai matahari
untuk selalu berbagi dan sesekali merasai
gelapnya sesal dan hangatnya nasehat
sebagaimana sang rembulan
yang kadang harus menggerhanai matahari
-Salim A. Fillah-
taken from : Dalam Dekapan Ukhuwah hal.274 - 275
Februari 2011
*merenungi malam, menatap bintang-bintang dilangit kamar*
^.^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
your Comment??